MENGELOLA
KONFLIK DALAM ORGANISASI
KONFLIK DALAM ORGANISASI
Oleh :
SUJI, M.Si.
•
Organisasi
sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling
berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam
proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974).
Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals
and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial
subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur
(structural subsystem).
Definisi Konflik
•
...disagreement
between individuals or groups within the organization stemming from the need to
share scarce resources or engage in interdependent
work activities, or from differences in status, goals, or cultures (Stoner dan
Freeman, 1989:391).
•
… the condition of objective
incompatibility between values or goals, as the bahavior of deliberately
interfering with another’s goal achievement, and emotional in terms of
hostility (Luthans, 1985:386).
•
All kinds of opposition or antagonistic
interaction. It based on scarcity of power, resources or social position, and
differing value systems (Kreitner dan
Kinicki, 1995:283).
Pandangan Terhadap
Konflik
•
Pandangan Tradisional (The
Traditional View).
•
Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View).
•
Pandangan
Interaksionis (The Interactionist View).
Stoner dan Freeman
(1989:392) : pandangan tradisional (old view) dan pandangan
modern (current view).
Tabel 1: Pandangan
Tradisional dan Modern tentang Konflik
PANDANGAN TRADISIONAL
|
PANDANGAN MODERN
|
Konflik dapat
dihindari
|
Konflik tidak dapat dihindari
|
Konflik disebabkan oleh kesalahan
manajemen dalam merancang dan
memimpin organisasi
|
Konflik disebabkan oleh banyak faktor:
struktur organisasi, perbedaan tujuan,
persepsi, nilai-nilai, dsb.
|
Konflik mengacaukan organisasi dan
mencegah pencapaian tujuan yang
optimal
|
Konflik mengurangi kinerja organisasi
dalam pelbagai tingkatan
|
Manajemen bertugas mengeliminir
konflik
|
Manajemen bertugas mengelola dan
mengatasi konflik, sehingga tercapai
kinerja yang optimal
|
Untuk mencapai kinerja yang optimal
maka konflik harus dihilangkan
|
Untuk mencapai kinerja yang optimal
membutuhkan tingkat konflik yang
moderat
|
1.3 Jenis-jenis
Konflik
A. Konflik Dilihat
dari Fungsi
•
Berdasarkan
fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: dan Konflik
fungsional (Functional
Conflict) adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok. Konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). adalah konflik yang merintangi
pencapaian tujuan kelompok.
B. Konflik Dilihat
dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,
Stoner dan Freeman (1989:393)mebagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
- Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
- Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
- Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan normanorma kelompok tempat ia bekerja.
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masingmasing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
- Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
- Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
C. Konflik Dilihat
dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi.
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam,
dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat
jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:
- Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara anggota organisasi yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
- Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar anggota organisasi, atau antar departemen yang setingkat.
- Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara anggota organisasi lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
- Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
II. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Menurut Steppen
Robbin:
•
Komunikasi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk
terciptanya konflik.
•
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam
artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara
tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan
derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka
semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
•
Variabel
Pribadi. Sumber konflik
lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang
dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan
individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang
lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu
yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.
Schermerhorn, et al. merinci antecedent conditions
menjadi lima faktor, yaitu:
- Ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities);
- Persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas;
- Rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers);
- Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan; dan
- Perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan perbedaan tujuan.
Menurut Kreitner
dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu menjadi 12
faktor sebagai berikut:
- Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
- Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
- Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
- Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate communication);
- Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
- Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
- Peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
- Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
- Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
- Pengambilan keputusan melalui konsensus;
- Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (anggota organisasi yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik);
- Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.
Selanjutnya Robbins
menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika:
- Konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan;
- Konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok;
- Konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi; dan
- Konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif.
BAGAIMANA KONFLIK
DIKELOLA ?
Tabel 2: Model
Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum
Dimensi
|
Sulit Dipecahkan
|
Mudah Dipecahkan
|
Masalah yang
menjadi
pertanyaan
|
Masalah prinsip
|
Masalah yang
dapat
dibagi-bagi
|
Ukuran taruhan
|
Besar
|
Kecil
|
Saling
ketergantungan
antara
pihak-pihak yang
terlibat
|
Berjumlah nol
|
Berjumlah positif
|
Kontinuitas
interaksi
|
Transaksi tunggal
|
Hubungan jangka
panjang
|
Struktur
pihak-pihak
yang terlibat
|
Tak berbentuk
atau
terpecah-pecah,
dengan
kepemimpinan yg
lemah
|
Terpadu, dengan
kepemimpinan yg
kuat
|
Keterlibatan
pihak
ketiga
|
Tidak ada pihak
ketiga
Yang netral
|
Dipercaya, kuat,
dihormati dan
netral
|
Kemajuan konflik
yang
Dipandang
|
Tidak seimbang,
satu
pihak merasa
lebih
dirugikan
|
Pihak-pihak telah
saling
merugikan satu
sama
lain
|
3.2 Lima Gaya
Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari Kreitner dan Kinicki
•
Integrating (Problem Solving).
Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama
mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan
dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk
memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi
karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu
yang lama dalam penyelesaian masalah.
•
Obliging (Smoothing). Sesuai dengan
posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih
memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri
sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya
mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan
di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya
untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat
sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
•
Dominating
(Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian
terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik
“saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlebat. Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering
menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hatu untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
•
Avoiding.
Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang
sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi
jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok
untuk menyelesaikan masalahmalasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari
strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan
atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian
masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
•
Compromising.
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari
pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki
kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan.
Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak
ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat
sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
•
Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan
sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik.
Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
(1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan kelompok, atau
antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan;
dan (4) kompleksitas organisasi.
Komentar
Posting Komentar