“Kalau main HP di sebelah sana saja
nak” kata orang tua. Peringatan itu langsung membuatku kaget dan membuayarkan
fokusku dalam memainkan HP. Waktu itu, aku berangkat kuliah naik bus dari
terminal bungurasih ke bratang. Memang aku duduk di kursi paling belakang di
dekat pintu sambil membalas Whatsapp dari salah satu temanku. Karena keasyikan membalasa
Whatsapp sampai-sampai aku tidak menyadari kedatangan orang yang sudah tua.
Jika aku taksir, kira-kira umurnya sudah 55 Tahun. Beliau berperawakan kurus
dan tinggi. Kaki kirinya sudah cacat dan harus pakai tongkat dalam berjalan. Pakaiannya
memang masih lumayan. Aku berfikiran dia orang perkampungan di Kota Surabaya.
“Saya cuma memperingatkan dik, yang
hidup di jalanan itu saya, tidak kamu” lanjutnya dalam memperingatkan saya.
“iya pak, silahkan duduk sini pak” aku menawarkan tempat duduk disampingku
kepada beliau. Beliau duduk di sampingku. Kami hanya sama-sama diam. Tapi
tiba-tiba beliau menawarkan tempat duduk kepadaku. “kamu duduk sini aja dek”
tawar beliau kepadaku untuk duduk di pojok kursi belakang yang jauh dari pintu
bus tersebut atau disebelah kanan. “tidak pak, saya
disini saja” kataku. “kalau mau main hp, ya di sini saja dek” kata beliau
sambil menunjukkan tempat duduk yang ditawrkannya tadi. “gak usah pak, hpku tak
masukin tas aja” kataku.
Suasana menjadi hening untuk
beberapa saat setelah aku ngayel padanya untuk tetap duduk di kursi yang
sudah aku pilih sedari tadi. Aku lebih memilih memasukkan hp dari pada pindah
tempat duduk. Tapi aku menjadi penasaran, siapa sebenarnya orang ini? Kenapa
perhatian padaku? Akhirnya aku mulai berbicara dan mengenalkan namaku padanya.
”saya Niha pak, bapak siapa namanya?”. “saya Pandi nak” jawabnya singkat. Aku
terdiam sebentar. Karena masih penasaran siapa sebenarnya orang ini, akhirnya
aku bertanya tentang tujuannya kemana. “bapak mau kemana?” tanyaku padanya.
“saya mau ke pertigaan kampus UNUSA dek” jawabnya.
Suasana kembali hening ketika itu.
Tiba-tiba seorang kondektur dari luar berteriak “Bratang brangkat”. Tanda bus
tujuan Bratang mau berjalan. Saat itu aku melamun sambil melihat ke arah luar
Bus. Tapi tiba-tiba Pak Pandi bertanya “adek mau kemana?” tanyanya kepadaku.
“Saya mau ke Bratang pak” jawabku singkat. “Kuliah ya dek?” beliau bertanya
kepadaku lagi. “Iya pak” jawabku singkat.
“Adek tahu tidak orang kuliah itu
pintar tapi bodoh” kata beliau. Ungkapan itu membuat aku kaget dan
terheran-heran. “Kok bisa pak?” Tanyaku pada beliau. Beliau hanya tersenyum. Akhirnya
aku juga ikut tersenyum. Tanda partisipasiku pada beliau. “Mayoritas orang
kuliah itu gengsi dek kalau tidak punya pacar. Benar tidak?” tanyanya padaku.
Karena sepengetahuanku memang rata-rata orang kuliah itu gengsi kalau tidak
punya pacar, akhirnya aku membenarkan perkataannya tadi. Aku mengangguk. Tanda
aku sepakat.
“Kalau sudah punya pacar, hanya
menghabiskan uang. Kalau tidak gitu ya hamil diluar nikah. Terus kuliahnya
putus. Memang tidak semua sih.” lanjut dia. Aku merasa heran kenapa bapak ini
bicara seperti itu. Tapi, aku terus membenarkan saja apa yang diungkapkan bapak
ini. Aku seolah-olah mengikuti alur supaya aku tahu jati diri beliau. Bahkan
aku tidak merespon pembicaraannya saja. Tapi aku mencoba bertanya terus. “Letak
Kebodohannya dimana Pak?” tanyaku. “letaknya ya dia dibodohi oleh nafsunya
sendiri” jawabnya. Hal ini membuat aku semakin kaget. Tiba-tiba dibenakku
timbul pertanyaan tentang profesinya. Aku memberanikan diri untuk bertanya
kepadanya. “Bapak profesinya apa?” tanyaku pada beliau. “saya seorang pengamen
dek” jawabnya sambil berdiri menuju tengah Bus untuk mengamen.
Aku semakin gila rasanya. Aku tidak
percaya dengan profesinya itu. Aku hanya bisa terdiam dan berfikir saja. Bahkan
rasanya aku seperti mimpi. Bagiku Pak Pandi adalah orang yang mempunyai wawasan
luas. Kenapa bisa menjadi pengamen?. Ini menjadikan aku semakin penasaran.
Pak Pandi mulai membagikan Amplop.
Memang di Surabaya itu ada yang unik. Orang yang mengamen itu membagikan amplop terlebih
dahulu. Kemudian menyanyikan lagu-lagu. Setelah itu amplopnya dimintai kembali.
Ketika Pak Pandi membagikan amplop, anehnya aku tidak diberikan amplop. Padahal
aku ingin memberikan bantuan kepada beliau. Karena aku merasa sudah diberikan
nasehat. Aku menikmati lagu yang dibawakan Pak Pandi ketika Ngamen. Memang
tidak seindah penyanyinya. Tapi ada khas tersendiri ketika beliau menyanyi.
Mungkin karena kepintarannya yang membuatnya berbeda. Setetlah Pak Pandi
selesai menyanyikan lagu, beliau langsung meminta kembali amplop yang sudah
dibagikannya tadi. Beliau selalu mengucapkan terimakasih ketika amplopnya
dikembalikan. Tak peduli apakah orang itu memberikan uang atau tidak. Setelah
pak Pandi selesai meminta kembali semua amplopnya, beliau langsung duduk
kembali di sebelahku. Aku tersenyum pada beliau. Beliaupun juga ikut tersnyum.
Aku masih penasaran tentang
identitas orang tersebut. Akhirnya aku mulai untuk berbincang kembali. “Pak
Pandi punya anak?” tanyaku. Beliau tersenyum padaku dan menjawab “Punya dek”.
Tidak cukup disitu aku bertanya. “kelas berapa pak?” tanyaku lagi. “dia sudah
kuliah di Perawatan dek” jawabnya. Seketika itu membuat aku kaget. Orang yang
kuliah di perawatan itu menghabiskan biaya yang besar. Tapi bapak ini bisa
menguliahkan anakanya dijurusan perawat. “Hebat dong Pak” Pujiku pada
beliau. “Dia (anak) mendapat beasiswa kok dek” jawabnya sambil tersenyum.
Dalam fikiranku semakin bingung.
Ternyata Pak Pandi mempunyai anak yang pintar. Sampai bisa mendapatkan beasiswa
di jurusan perawat. Aku menjadi semakin heran. Seperti kata pepatah “buah jatuh
tidak jauh dari pohonnya”. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya lebih lanjut.
Tapi pertanyaanku kali ini dimulai dengan pujianku. Ya dengan maksud supaya
bapak ini semakin terbuka. “Anaknya hebat ya pak, saya saja tidak bisa pak. Kalau
boleh tahu dulu bapak lulusan mana?” tanyaku. Lagi-lagi aku dilempar senyum
oleh beliau. “saya dulu juga pernah kuliah dek” jawabnya. Aku mulai terdiam
sebentar sambil menunjukkan wajah heranku kepada beliau. “aku dulu kuliah di
Bogor dek” lanjutnya. Aku hanya diam saja karena merasa tidak percaya.
Beliau akhirnya bercerita padaku.
Ternyata beliau dulunya adalah tamatan Perguruan Tinggi ternama di Bogor.
Beliau ahli dalam bidang jurusan perkuliahannya. Bahkan dia juga juara dalam
bidang pendidikannya. Aku hanya merasa seolah-olah tidak percaya dengan semua
ini. Aku hanya bisa melamun. Dalam sela-sela lamunanku itu, tiba-tiba beliau
pamit padaku “Saya duluan dek” katanya. “Iya pak” jawabku. Selama perjalanan
dari Bungurasih ke Bratang rasanya aku baru saja seperti mimpi. Terlepas benar
atau tidaknya apa yang diceritakan oleh Pak Pandi, tapi aku mendapatkan
pelajaran yang berharga dari ceritanya tadi dan ungkapan orang kuliah Pintar
tapi Bodoh.
Komentar
Posting Komentar